#hbc1904 - Euforia Rasa
"Aku nggak punya apa-apa lagi selain foto kita, Mas".
Entah sudah berapa kali aku mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang menurutku 65%nya sebuah sindiran dan 35%nya sebuah kode.
***
Long Distance Relationship, sebuah sebutan untuk sepasang kekasih yang menjalani hubungan jarak jauh. Semua orang tahu itu, tapi tidak semua orang mau menjalani hubungan yang seperti itu.
"Kalau kamu nanya kenapa aku mau LDR an sama kamu, jawabannya hanya satu: aku mencoba bangkit dari kegagalanku yang sebelumnya", kataku pada Mas Ryan--Pacarku.
***
Pertengahan 2015 yang lalu, aku disibukkan dengan kegiatan kuliahku di Kampus. Mulai dari harus mempersiapkan tugas-tugas ospek, awal masuk kuliah yang sudah diberi tugas oleh Bapak atau Ibu dosen, hari Minggu yang tidak pernah libur karena diisi kegiatan rohani, sampai lembur mengerjakan laporan praktikum.
Begitupun Rizky, mantanku yang di Bandung. Dia sudah memulai perkuliahannya 2 minggu sebelum aku ospek.
Aku masih ingat saat itu, pertengkaran awal saat bulan ke dua kita menjalani LDR. Aku yang pada waktu itu sedang dikejar deadline laporan praktikum mata kuliah Biologi, sedangkan Rizky memintaku untuk menemaninya via telepon.
"Aku nggak bisa, aku sibuk", kataku ketus yang dibarengi dengan menekan tombol merah di layar handphoneku.
Rizky meneleponku kembali setelah itu, namun tidak aku gubris.
Hari-hari berikutnya, hubungan kami semakin membaik. Hal itu dibarengi pula dengan kepulangan Rizky satu bulan berikutnya. Bulan Oktober, Bulan kelahiranku. Dia memberikanku kado ulang tahun, sebuah novel berjudul "In a Blue Moon" karangan Ilana Tann. Aku masih mengingat dengan jelas novel bercover warna biru itu. Warna favoritku.
13 Oktober 2015, 13 Oktober yang ke 4 yang pernah ku rayakan bersamanya.
Bulan berikutnya, pertengkaran kembali terjadi. Aku dan Rizky sudah kembali ke kota perantauan, namun dia masih saja tidak bisa menerima keadaanku yang sistem perkuliahannya disibukkan dengan kegiatan praktikum.
"Aku nggak betah kita gini terus. Aku ngerasa hubungan kita makin ke sini makin memburuk. Aku mau putus", katamu.
Kala itu, aku sedang berkunjung ke rumah sepupuku yang hanya berjarak 3 KM dari Kampusku.
Deg!
Jantungku rasanya mau copot!
Bagaimana bisa dia memutuskan sebuah hubungan yang sudah berjalan 3,4 tahun.
Aku merebahkan tubuhku ke kasur, mencoba untuk meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Yakin mau putus?", aku mencoba memastikan.
"Iya", jawabnya singkat.
10 November 2015, hubungan kita resmi berakhir.
***
Jika aku ditanya butuh waktu berapa lama untuk move on dari hubungan yang aku jalani selama 3,4 tahun, maka jawabanku adalah kurang lebih dua tahun.
Sejak keputusan kami untuk mengakhiri hubungan ini dibuat, kami melakukan segala cara untuk move on. Membiasakan diri untuk tidak terbelenggu dengan masa lalu.
25 April 2016, Rizky menghubungiku kembali. Mengajakku untuk bertemu bulan depan. Aku menyanggupi.
9 Mei 2016, Rizky pulang ke Surabaya ketika aku sedang menjalani Ujian Tengah Semesterku. Namun aku masih menyempatkan untuk bertemu dengannya di Surabaya. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba kita balikan.
1 Agustus 2016, aku memberanikan diri untuk pergi ke Kota Bandung. Pertama kalinya aku bepergian jauh tanpa didampingi orang tua. Bermodal uang saku yang ku tabung agar cukup untuk membiayai hidup di Kota Bandung selama 5 hari 4 malam.
5 Agustus 2016, sehari menjelang kepulanganku ke Malang, aku mendapati sebuah kenyataan yang sangat-amat-pahit. Aku melihat dan membaca dengan mata kapalaku sendiri, bahwa Rizky sedang dekat dengan salah satu teman sekelasnya. Perempuan. Tidak berjilbab. Dan berkacamata. Dengan wajah yang keturunan China.
31 Oktober 2016, dia memberikanku kado. Lagi. Sebuah kardus yang berisikan boneka pokemon berukuran mini, satu buah kuaci ukuran besar, beserta kartu ucapan yang entah aku lupa bagaimana isi pesannya. Dan, tunggu, dia menyisipkan kartu ucapan yang ku berikan untuknya di hari ulang tahunnya pada tahun 2013.
Apa maksud semua ini? Apakah dia hanya sekedar ingin mengingatkanku tentang apa saja yang sudah ku tulis untuknya? Segala perasaanku, harapanku, dan pesan-pesanku untuknya? Apakah dia hanya ingin membuktikan padaku jika ia adalah laki-laki penyimpan yang baik, yang telah menyimpan kartu ucapan itu selama 3 tahun terakhir? Atau... dia hanya ingin mengembalikannya padaku karena tak sanggup untuk menyimpannya lagi? Sama seperti hubungan yang kita jalani.
10 November 2016, Rizky menghilang kembali. Seluruh kontak di media sosialku diblock. Dia meninggalkanku tanpa alasan.
Aku terpuruk sejadi-jadinya. Tiga bulan berikutnya, aku menjalani hari dengan hampa. Terlebih ketika diterpa penyakit yang sama berulang kali selama 3 bulan.
***
11 November 2017.
Setahun berlalu, aku berhasil bangkit dari keterpurukanku selama 2 bulan. Hanya bangkit, belum sepenuhnya move on.
Tintung...
Tintung...
Tintung...
Tintung...
Handphoneku berbunyi 4 kali.
"Hih, siapa sih ini, spam banget deh. Kayaknya semua grup sudah ku silent", gerutuku.
Aku membuka notifikasi aplikasi chat Line dari layar handphoneku. Ku dapati chat beruntun dari Rizky, orang yang meninggalkanku tanpa alasan tepat setahun yang lalu. Chat tersebut berisi tentang alasan kenapa dia meninggalkanku pada waktu itu hingga kenapa pada akhirnya dia memutuskan untuk memberi penjelasan padaku. Meskipun penjelasan tersebut tidak bisa memperbaiki atau mengganti apapun yang telah terjadi.
Kacau. Yang ku rasakan saat itu. Aku takut. Takut jika ternyata aku masih menyimpan ruang rasa untuknya. Aku takut dia menghancurkan hubungan yang telah ku susun ulang 7 bulan terakhir ini. Aku takut kehadirannya mengacaukan semuanya.
***
Akhir Desember 2018, entah tanggal berapa.
Kami memutuskan untuk bertemu, hanya sekedar menjaga tali silaturahmi.
"Kamu kenapa? Kayaknya nggak nyaman ketemu aku ya? Kok wajahmu datar-datar aja?", tanyanya heran.
Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu ingin menjawab apa. Karena apa yang ku rasa saat ini sudah-benar-benar-beda. Hambar. Entah karena aku sudah tidak mempunyai sepucuk rasa untuknya, atau luka yang pernah ia goreskan sudah benar-benar tersembuhkan.
Aku hanya menggelengkan kepala sembari tersenyum.
"Aku nggak tahu, cuma aku yang berpikir seperti ini atau kamu juga berpikir yang sama sepertiku. Tapi, sekarang kamu jauh lebih dewasa dari sebelumnya. Cara berbicaramu, sikapmu dan raut wajahmu harus ku akui, cukup berbeda. Aku lebih menyukaimu yang seperti ini", lanjutnya.
"Stop, jangan berkata apa-apa lagi. Aku sudah cukup sadar bahwa kamu tidak menginginkan diriku apa adanya. Kamu selalu ingin berubah diriku menjadi sepertu yang kamu inginkan. Kamu tidak pernah bisa menerima aku dan seluruh kekuranganku. Berubah menjadi orang yang lebih baik lagi memang perlu, namun bukan berarti aku berubah menjadi seperti yang orang lain inginkan, bukan?", batinku.
***
Hari ini, hanya beberapa bulir chat dari kamu yang aku terima.
Sedang ada kerjaan, katamu, di sela-sela waktu yang seharusnya mendekatkan kita.
Aku memaklumimu.
"Kalau kamu nggak mau chat-chat an sama aku untuk sementara waktu ini, nggak papa kok. Biar kamu bisa fokus sama kerjaanmu", ketikku.
"Aku sempetin untuk chat kamu, Vin", balasmu. Diikuti dengan berpamitan untuk menuju pulau kapuk.
Entah sudah berapa kali aku mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang menurutku 65%nya sebuah sindiran dan 35%nya sebuah kode.
***
Long Distance Relationship, sebuah sebutan untuk sepasang kekasih yang menjalani hubungan jarak jauh. Semua orang tahu itu, tapi tidak semua orang mau menjalani hubungan yang seperti itu.
"Kalau kamu nanya kenapa aku mau LDR an sama kamu, jawabannya hanya satu: aku mencoba bangkit dari kegagalanku yang sebelumnya", kataku pada Mas Ryan--Pacarku.
***
Pertengahan 2015 yang lalu, aku disibukkan dengan kegiatan kuliahku di Kampus. Mulai dari harus mempersiapkan tugas-tugas ospek, awal masuk kuliah yang sudah diberi tugas oleh Bapak atau Ibu dosen, hari Minggu yang tidak pernah libur karena diisi kegiatan rohani, sampai lembur mengerjakan laporan praktikum.
Begitupun Rizky, mantanku yang di Bandung. Dia sudah memulai perkuliahannya 2 minggu sebelum aku ospek.
Aku masih ingat saat itu, pertengkaran awal saat bulan ke dua kita menjalani LDR. Aku yang pada waktu itu sedang dikejar deadline laporan praktikum mata kuliah Biologi, sedangkan Rizky memintaku untuk menemaninya via telepon.
"Aku nggak bisa, aku sibuk", kataku ketus yang dibarengi dengan menekan tombol merah di layar handphoneku.
Rizky meneleponku kembali setelah itu, namun tidak aku gubris.
Hari-hari berikutnya, hubungan kami semakin membaik. Hal itu dibarengi pula dengan kepulangan Rizky satu bulan berikutnya. Bulan Oktober, Bulan kelahiranku. Dia memberikanku kado ulang tahun, sebuah novel berjudul "In a Blue Moon" karangan Ilana Tann. Aku masih mengingat dengan jelas novel bercover warna biru itu. Warna favoritku.
13 Oktober 2015, 13 Oktober yang ke 4 yang pernah ku rayakan bersamanya.
Bulan berikutnya, pertengkaran kembali terjadi. Aku dan Rizky sudah kembali ke kota perantauan, namun dia masih saja tidak bisa menerima keadaanku yang sistem perkuliahannya disibukkan dengan kegiatan praktikum.
"Aku nggak betah kita gini terus. Aku ngerasa hubungan kita makin ke sini makin memburuk. Aku mau putus", katamu.
Kala itu, aku sedang berkunjung ke rumah sepupuku yang hanya berjarak 3 KM dari Kampusku.
Deg!
Jantungku rasanya mau copot!
Bagaimana bisa dia memutuskan sebuah hubungan yang sudah berjalan 3,4 tahun.
Aku merebahkan tubuhku ke kasur, mencoba untuk meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Yakin mau putus?", aku mencoba memastikan.
"Iya", jawabnya singkat.
10 November 2015, hubungan kita resmi berakhir.
***
Jika aku ditanya butuh waktu berapa lama untuk move on dari hubungan yang aku jalani selama 3,4 tahun, maka jawabanku adalah kurang lebih dua tahun.
Sejak keputusan kami untuk mengakhiri hubungan ini dibuat, kami melakukan segala cara untuk move on. Membiasakan diri untuk tidak terbelenggu dengan masa lalu.
25 April 2016, Rizky menghubungiku kembali. Mengajakku untuk bertemu bulan depan. Aku menyanggupi.
9 Mei 2016, Rizky pulang ke Surabaya ketika aku sedang menjalani Ujian Tengah Semesterku. Namun aku masih menyempatkan untuk bertemu dengannya di Surabaya. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba kita balikan.
1 Agustus 2016, aku memberanikan diri untuk pergi ke Kota Bandung. Pertama kalinya aku bepergian jauh tanpa didampingi orang tua. Bermodal uang saku yang ku tabung agar cukup untuk membiayai hidup di Kota Bandung selama 5 hari 4 malam.
5 Agustus 2016, sehari menjelang kepulanganku ke Malang, aku mendapati sebuah kenyataan yang sangat-amat-pahit. Aku melihat dan membaca dengan mata kapalaku sendiri, bahwa Rizky sedang dekat dengan salah satu teman sekelasnya. Perempuan. Tidak berjilbab. Dan berkacamata. Dengan wajah yang keturunan China.
31 Oktober 2016, dia memberikanku kado. Lagi. Sebuah kardus yang berisikan boneka pokemon berukuran mini, satu buah kuaci ukuran besar, beserta kartu ucapan yang entah aku lupa bagaimana isi pesannya. Dan, tunggu, dia menyisipkan kartu ucapan yang ku berikan untuknya di hari ulang tahunnya pada tahun 2013.
Apa maksud semua ini? Apakah dia hanya sekedar ingin mengingatkanku tentang apa saja yang sudah ku tulis untuknya? Segala perasaanku, harapanku, dan pesan-pesanku untuknya? Apakah dia hanya ingin membuktikan padaku jika ia adalah laki-laki penyimpan yang baik, yang telah menyimpan kartu ucapan itu selama 3 tahun terakhir? Atau... dia hanya ingin mengembalikannya padaku karena tak sanggup untuk menyimpannya lagi? Sama seperti hubungan yang kita jalani.
10 November 2016, Rizky menghilang kembali. Seluruh kontak di media sosialku diblock. Dia meninggalkanku tanpa alasan.
Aku terpuruk sejadi-jadinya. Tiga bulan berikutnya, aku menjalani hari dengan hampa. Terlebih ketika diterpa penyakit yang sama berulang kali selama 3 bulan.
***
11 November 2017.
Setahun berlalu, aku berhasil bangkit dari keterpurukanku selama 2 bulan. Hanya bangkit, belum sepenuhnya move on.
Tintung...
Tintung...
Tintung...
Tintung...
Handphoneku berbunyi 4 kali.
"Hih, siapa sih ini, spam banget deh. Kayaknya semua grup sudah ku silent", gerutuku.
Aku membuka notifikasi aplikasi chat Line dari layar handphoneku. Ku dapati chat beruntun dari Rizky, orang yang meninggalkanku tanpa alasan tepat setahun yang lalu. Chat tersebut berisi tentang alasan kenapa dia meninggalkanku pada waktu itu hingga kenapa pada akhirnya dia memutuskan untuk memberi penjelasan padaku. Meskipun penjelasan tersebut tidak bisa memperbaiki atau mengganti apapun yang telah terjadi.
Kacau. Yang ku rasakan saat itu. Aku takut. Takut jika ternyata aku masih menyimpan ruang rasa untuknya. Aku takut dia menghancurkan hubungan yang telah ku susun ulang 7 bulan terakhir ini. Aku takut kehadirannya mengacaukan semuanya.
***
Akhir Desember 2018, entah tanggal berapa.
Kami memutuskan untuk bertemu, hanya sekedar menjaga tali silaturahmi.
"Kamu kenapa? Kayaknya nggak nyaman ketemu aku ya? Kok wajahmu datar-datar aja?", tanyanya heran.
Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu ingin menjawab apa. Karena apa yang ku rasa saat ini sudah-benar-benar-beda. Hambar. Entah karena aku sudah tidak mempunyai sepucuk rasa untuknya, atau luka yang pernah ia goreskan sudah benar-benar tersembuhkan.
Aku hanya menggelengkan kepala sembari tersenyum.
"Aku nggak tahu, cuma aku yang berpikir seperti ini atau kamu juga berpikir yang sama sepertiku. Tapi, sekarang kamu jauh lebih dewasa dari sebelumnya. Cara berbicaramu, sikapmu dan raut wajahmu harus ku akui, cukup berbeda. Aku lebih menyukaimu yang seperti ini", lanjutnya.
"Stop, jangan berkata apa-apa lagi. Aku sudah cukup sadar bahwa kamu tidak menginginkan diriku apa adanya. Kamu selalu ingin berubah diriku menjadi sepertu yang kamu inginkan. Kamu tidak pernah bisa menerima aku dan seluruh kekuranganku. Berubah menjadi orang yang lebih baik lagi memang perlu, namun bukan berarti aku berubah menjadi seperti yang orang lain inginkan, bukan?", batinku.
***
Hari ini, hanya beberapa bulir chat dari kamu yang aku terima.
Sedang ada kerjaan, katamu, di sela-sela waktu yang seharusnya mendekatkan kita.
Aku memaklumimu.
"Kalau kamu nggak mau chat-chat an sama aku untuk sementara waktu ini, nggak papa kok. Biar kamu bisa fokus sama kerjaanmu", ketikku.
"Aku sempetin untuk chat kamu, Vin", balasmu. Diikuti dengan berpamitan untuk menuju pulau kapuk.
Komentar
Posting Komentar