30hcb1902 - Kotak Pengakuan

Siang ini, cuaca di Kota Malang sangat terik. Aku melajukan sepeda motorku menuju sebuah bangunan. Bangunan itu tetap tegak berdiri meskipun dimakan waktu. Ya, bangunan itu adalah Kampusku.


***
(handphone bergetar)
"Vin, kamu dimana?", tanya seseorang di seberang sana.
"Di Perpus nih, sebentar lagi jalan ke sana. Kamu tunggu di sofa lantai 1 aja", jawabku agak tergesa.
"oke"
(telpon terputus)


***
Sudah jam satu siang, tetapi belum ada satu progresspun yang berjalan. Padahal, rencananya hari ini aku punya 3 agenda; mengurus surat izin penelitian, menemui dosen pembimbing PKL, dan membantu teman yang sedang melakukan penelitian pendahuluan.

Namun belum ada satupun yang ku lakukan sampai saat ini.

Aku berjalan menyusuri lobby kampus, berharap menemukan orang yang menghubungiku beberapa menit yang lalu.

Tak lama kemudian, aku menemukannya. Seseorang itu duduk di sofa ditengah keramaian, sedang berdiskusi dengan seorang temannya.

Sofa berwarna cream itu berbentuk seperti kelopak mata yang menyambung di setiap ujungnya. Sofa itu terletak diantara Ruang Akademik dan Ruang Pengajaran.

"Ra, ayo ke lantai 2. Siapa tau Bapaknya sudah datang", ajakku.

Seseorang itu bernama Zahra. Dia adalah salah satu teman sekelompokku magang.

Aku mengedarkan pandangan ke sekitarku, dan melihat kedua teman kelompokku yang lain sedang berada di sofa yang sama. Mereka adalah Fikri dan Rony.

Aku, Zahra, Fikri, Rony dan Awan adalah teman sekelompok magang. Kami baru saja menyelesaikan magang di salah satu CV di daerah Kabupaten Malang, tepat 10 Oktober lalu.

Hari ini kami berencana kumpul untuk menemui Pak Heru, dosen pembimbing magang kami. Lebih tepatnya untuk menyerahkan laporan magang kami yang telah kami revisi.' Sayangnya kami belum melihat batang hidung Awan.


***
"Ya sudah, besok kalian kembali lagi dengan membawa PPT yang sudah direvisi ya. Kalau bisa jarak antara selesai magang dengan ujian magang tidak terlalu lama, biar kalian tidak lupa materi yang pernah diajarkan di sana", pinta Pak Heru.

"Baik, Pak", jawab kami.

Setelah menyelesaikan urusan kami dengan Pak Heru, kami berkumpul sebentar untuk membahas PPT yang akan diserahkan besok.

"Harusnya PPT di print juga, biar kita nggak bolak-balik bimbingan. Kalau kayak gini, kapan kita ujiannya?", keluhku.

Ini adalah bimbingan kami yang ke 7 kalinya. Namun tetap saja belum terlihat tanda-tanda kapan ujian magang itu akan berlangsung.

"Ya sudah, jangan saling menyalahkan. Nanti jangan lupa share PPT-nya ke grup Whatsapp, biar aku yang revisi", Zahra menengahi.

Ah, dasar Vina. Kadang kamu terlihat terlalu berambisi dan egois.

"Makan, yuk! Aku sudah lapar nih", kataku.


***
Kantin Kampus terlihat lebih sepi daripada biasanya. Maklum, masih jadwalnya liburan semester ganjil. Hanya segelintir orang yang datang ke Kampus disaat libur semester.

Kantin yang tidak terlalu besar, namun cukup untuk menampung sekitar 70 manusia yang sedang lapar. Kantin itu mempunyai 12 buah meja dan kursi panjang yang dapat menampung maksimal 6 orang, 5 buah meja persegi yang dapat menampung maksimal 4 orang, dan 50 buah kursi plastik.

Di dalam Kantin itu terdapat 7 petak ruangan dengan berbagai macam makanan yang berbeda. Ada yang menjual makanan rumahan, bakso, mie ayam, gado-gado, penyetan, nasi goreng, hingga khusus minuman.

Aku dan teman-teman memilih duduk di kursi panjang yang berada di tengah-tengah. Aku dan Zahra memesan nasi goreng, Rony memesan gado-gado, sementara Fikri dan Awan tidak memesan apapun. Puasa katanya.

"Ron, aku mau nanya deh sama kamu. Kalau seumpama, Vina nanti menikah, apa kamu akan tetap menunggu dia sampai dia menjanda?", tanya Zahra.

Terdengar agak geli sih pertanyaannya.

"Iya. Nggak ada yang bisa menggantikan dia", jawabnya.

Aku tercengang. Mendadak nasi goreng yang ku pesan rasanya menjadi hambar.

"Masa sama sekali nggak ada? Atau jangan-jangan, nggak ada cewek yang mau sama kamu, Ron?", Awan tertawa.

Rony menggeleng lemah, "Aku tetap akan menunggu dia".

Mendengar jawaban Rony yang terkesan "memaksa", entah mengapa hatiku rasanya menjadi campur aduk. Aku ingin sekali lepas darinya, tapi keadaan yang memaksaku untuk tetap berkomunikasi dengan dia.

Aku ingin menjelaskan semuanya, tapi aku terlalu takut. Aku takut menyakiti hatinya. Mama pernah meminta kepadaku untuk berhati-hati dalam berucap, agar tidak ada hati yang tersakiti lagi. Namun semakin aku takut untuk mengungkapkan, hal itu semakin menjadi beban untukku.

Aku harus menjelaskan semuanya sekarang.

"Gaes, gini, aku minta pendapat kalian deh", sambungku.

Awan, Zahra, dan Rony sudah siap memasang telinga mereka, sedangkan Fikri sedang asik bermimpi di tengah kegaduhan kami berempat. Ya, dia tertidur, di meja makan kantin.

"Jadi... Gini, setiap orang kan berhak bahagia, nah masing-masing orang kan punya cara untuk menjemput kebahagiaan mereka sendiri. Bener?"

Mereka mengiyakan.

"Tapi, belum tentu kebahagiaanmu itu menjadi kebahagiaan orang lain juga. Paham maksudku?" jelasku.

Mereka manggut-manggut.

"Menurut pandanganmu, Vina egois nggak sih?", pertanyaan Zahra kali ini untuk Awan.

"Sebelum itu, aku mau nanya dulu ke Vina. Untuk yang poin pertama, bahwa setiap orang berhak bahagia itu aku setuju. Poin kedua, setiap orang punya caranya sendiri untuk menjemput kebahagiaan, aku juga setuju. Untuk yang poin ketiga, pertanyaannya, apakah benar seseorang itu tidak bisa membuatmu bahagia untuk ke depannya?", tanya Awan yang kali ini semakin memperjelas bahwa orang yang ku maksud di dalam pernyataan itu adalah aku dan Rony.

"Gini, untuk saat ini, jawabanku dia belum bisa membahagiakanku. Karena ada beberapa hal yang menjadi pertimbanganku. Kita semua nggak pernah tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Bener kan?"

"Ron, dengarkan, untuk saat ini Vina bilang belum bisa. Jadi, masih ada kemungkinan bahwa setahun kemudian kamu bisa membahagiakan dia", Awan mengarahkan.

"Jelaskan, Vin, apa aja hal yang menjadi pertimbanganmu", Zahra melengkapi.

Seketika suasana menjadi sedikit tegang.

"Gini, yang pertama, aku menilai dari sisi agama. Selama aku berpacaran dengan Rony, aku merasa hubungan kami tidak mengarah ke hal yang positif. Maksudku, kita malah menjadi semakin jauh dari Tuhan. Aku akuin, sholatku masih bolong-bolong. Aku juga jarang mengaji. Kalau aku dibersamakan dengan orang yang seperti itu, sama aja dong? Bukannya cinta itu saling melengkapi?"

"Kedua, karakter dan sifat. Kalian semua pasti sudah paham karakter dan sifatku gimana. Aku ya begini adanya; kadang baik, kadang manja, kadang emosian. Karena itu, aku paham, aku membutuhkan sosok laki-laki yang seperti apa. Pertanyaannya, bisakah dia menjadi laki-laki yang aku butuhkan? Bisakah dia tetap sabar menghadapi aku yang tiba-tiba uring-uringan nggak jelas?"

"Ketiga, aku trauma pacaran sama dia. Aku nggak mau menjalin hubungan lagi dengan orang yang sudah menjadi bagian dari masa laluku. Aku belum siap terluka lagi dengan orang yang sama."

Jelasku panjang lebar.

"Nah, kalau kita sudah tahu penjelasan dari Vina, kan setidaknya kita jadi ngerti tentang apa aja yang harus diperbaiki dan dirubah. Harapannya, kamu bisa memperbaiki diri, yaa setahun cukup lah", Awan memberikan masukan dengan nada sedikit bercanda.

"Tapi, gaes, karakter seseorang tidak bisa diubah dalam jangka waktu yang sebentar, lho. Menurutku, setahun itu masih sebentar", sanggahku, mencoba membela diri.

"Buktikan, Ron. Kamu pasti bisa berubah dalam jangka waktu setahun", Awan menyemangati.

"Aku nggak bisa bilang kalau Vina egois sih, Ra, kalau dengar dari semua jawabannya dia", tambah Awan.

Rony hanya diam mendengarkan.

"Kalau kamu mau berubah memperbaiki diri, niatkan dirimu untuk memperbaiki diri karena Allah SWT, bukan karena untuk mendapatkan hatiku lagi. Jangan terlalu memaksa. Jodoh, rezeki, dan maut itu sudah ada yang mengatur. Untuk saat ini, aku pinginnya kita berkomunikasi layaknya seorang teman kelompok. Biasa aja, nggak usah baper", jelasku ke Rony.

"Oh iya, satu lagi. Yang menggenggam hati kita ini kan Allah ya, ngapain kita meminta hati kepada manusia? Minta hati manusia kepada Allah lah", imbuhku, berharap Rony mengerti.

"Yaa Muqallibal Quluub, Tsabbit Qalbi ‘Ala Diinik. Ya Allah yang maha membolak balikkan hati manusia, teguhkanlah hatiku diatas agamamu", Awan menambahkan.


***
Sekilas aku melihat raut wajah Rony yang tiba-tiba berubah menjadi masam. Aku mengerti, semua yang aku katakan tadi membuat hatinya sakit. Namun, aku harus menjelaskan semuanya. Aku tidak ingin berlama-lama menanggung beban. Aku tidak ingin terjadi sesuatu di kemudian hari, terlebih karena aku sudah berstatus pacaran dengan orang lain.

Aku harus tegas dengan diriku sendiri. Dengan perasaanku. Demi kebahagiaan kita masing-masing. Karena yang kamu anggap kebahagiaan, belum tentu menjadi kebahagiaan untukku.


***
Kami berjalan menuju parkiran Kampus. Dan selama kami berjalan itu, Rony sama sekali tidak berkata apapun. Dia mendiamkanku, mendiamkan kami.

"Ra, apa yang aku lakuin tadi benar nggak sih?", aku khawatir.

"Benar kok. Seenggaknya biar kamu nggak nanggung beban lagi, Vin".

"Kamu lihat tuh, raut muka dan bahasa tubuhnya Rony, kayaknya dia marah sama aku deh".

Zahra mencoba menenangkanku, "Sudah, nggak usah dipikirin, mungkin Rony cuma syok setelah dengerin semua penjelasanmu tadi".

"Aku cuma takut menyakiti hati orang lain, Ra".

Zahra tersenyum.



Malang, 16 Januari 2018
Pukul 00.03 WIB
Dari Aku, yang masih tahap mengurus surat izin penelitian.

#30hbc
#30hbc1902

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

#hbc1904 - Euforia Rasa

#hbc1903 - Sesaat yang Abadi (1)

Sayang tapi Nggak Maksa, Gimana tuh Caranya?