#hbc1903 - Sesaat yang Abadi (2)
Ibu sedang duduk di ruang tamu ketika aku datang bersama Mas Ryan.
"Bu, kenalkan, ini Mas Ryan. Orang yang aku ceritakan kemarin", kataku sedikit takut.
Ibu tersenyum dan menyalami Mas Ryan, begitupun Mas Ryan yang membalas senyuman Ibu.
Selanjutnya, aku menyalami orang-orang yang sedang berada di rumah--Mas Yoga, Mbak Sita, Umi, dan Abah. Begitupun Mas Ryan.
Ibupun mempersilahkan Mas Ryan untuk duduk di kursi tamu. Sedangkan aku langsung menuju dapur untuk menyiapkan teh hangat untuk Mas Ryan.
"Itu pacar kamu, nduk?", tanya Ibu, terdengar halus sekali suaranya.
Aku hanya tersenyum, tanda mengiyakan pertanyaannya.
Aku membawa dua cangkir teh hangat--satu untukku, dan satunya lagi untuk Mas Ryan. Ibu yang sedang menggendong Qilla--anak pertama Mas Yoga mengikutiku dari belakang, dan duduk di sampingku.
"Mas Ryan ini orang mana?", tanya Ibu.
"Bandung, Bu", jawabnya.
"Temannya Vina?"
"Iya, Bu, tapi beda angkatan. Saya angkatan setahun diatas Vina. Kemarin baru wisuda".
Kira-kira itu percakapan yang aku sempat dengar. Sisanya aku tidak terlalu memperhatikan, karena aku sibuk bermain dengan Qilla yang sedang menonton film Upin&Ipin di layar gadgetku.
Ibu juga sempat menanyakan perihal latar belakang Mas Ryan, dan Mas Ryan menjawab sesuai dengan yang aku ketahui dari Bibi. Iya, Bibi sudah menceritakan latar belakang Mas Ryan ketika kami sedang menunggu pesanan Grab Car kami sampai, sepulang dari acara wisuda Mas Ryan.
Ibu dan Mas Ryan terlihat akrab. Sepertinya, Ibu mulai menyukai Mas Ryan.
"Sini, Vin, biar aku aja yang megangin handphone-nya", pinta mas Ryan yang sedang melihatku menemani Qilla sembari memegang handphone.
Mas Ryan sudah menepati janjinya yang akan datang ke rumah untuk ku perkenalkan dengan Ibuku.
***
"Eh, Vin, tiketnya tadi mana?"
Sebelum keluar dari bangunan PO bus tadi, Mas Ryan menitipkan tiket keberangkatannya ke aku.
"Aku ambilkan dulu sebentar", jawabku yang langsung merogoh sling bag berwarna dusty pink milikku.
"Pipinya gemesin banget sih", kata Mas Ryan seraya mencubit pipi kananku.
Antara kaget dan senang, kalimat yang tepat untuk menggambarkan isi hatiku saat itu.
Seorang Mas Ryan, yang terkenal di Kampus, aktif berorganisasi, dan memiliki banyak teman, sekarang menjadi pacarku dan barusan dia mencubit pipiku. Ya Tuhan, ini bukan mimpi kan?
Aku membatin.
Kami menaiki anak tangga menuju lantai 2 setelah aku memberikan tiket keberangkatannya.
"Kamu tunggu di ruang tamu dulu ya, Vin. Aku mau ngasihin tiket ini dulu", katanya yang ku iyakan dan segera duduk di ruang tamu. Kali ini televisinya mati.
Terdengar samar percakapan antara Mas Ryan, Bibi dan Teteh. Tak sampai lima menit, Mas Ryan sudah berada di sebelah kananku.
Jam menunjukkan pukul 10.50 WIB.
Kami membicarakan obrolan ringan. Yah masih seputar kampus--skripsi, penelitian, seminar hasil, kompre, dan yudisium.
"Aku ingin segera lulus, Mas. Targetku Bulan April nanti wisuda. Bisa nggak ya?", aku mengutarakan keinginanku.
"Dicoba dulu saja, Vin. Gini deh, kalau Bulan April nanti kamu sudah yudisium, minimal kompre deh, nanti aku traktir kamu", janjinya.
"Serius ditraktir? Semua yang aku mau?", tanyaku memastikan, dengan mata yang berbinar.
Tampak sekilas keraguan dari mata Mas Ryan, namun sekali lagi, iya menjawab dengan pasti.
"Iya, aku traktir".
Aku tersenyum dan melingkarkan ibu jari dengan jari telunjuk tangan kananku membentuk sebuah lingkaran, tanda persetujuan.
Semoga, aku bisa menyelesaikannya tepat di Bulan April.
***
Dering telfon dari gadget Mas Ryan menghentikan semua percakapan kita.
"Bus-nya sudah sampai di Surabaya, Vin", katanya. Setelah itu, Mas Ryan berlari menuju kamar Bibi dan Teteh untuk menyampaikan kabar yang terlebih dahulu disampaikannya padaku.
Semua barang-barang sudah dipacking Bibi dan Teteh sepulang dari Car Free Day tadi.
Aku berjalan menyusul Mas Ryan di belakangnya.
Masih jam 11.30 WIB.
"Mau check out sekarang, Mas?", tanyaku yang setengah bingung. Keluarga ini jelas memiliki manajemen waktu yang bagus. Disiplin sekali.
"Iya", jawabnya singkat.
"Tolong pesankan Grab-Car ya", sambungnya.
Aku mengangguk.
Setelah memesankan Grab-Car, aku membantu membawakan sebuah koper yang berisi hadiah wisuda milik Mas Ryan. Tidak terlalu berat.
Sementara Bibi dan Teteh masing-masing membawa 1 tas jinjing dan 1 tas travel. Mas Ryan membawa 1 tas punggung dan 1 tas kamera.
Kami menuruni satu persatu anak tangga. Ketika tiba di depan parkiran mobil, Mas Ryan, Bibi dan Teteh menuju ruangan resepsionis, sementara aku tetap berdiri di tempat itu sembari mengecek pesanan Grab-Car ku. Tak lama kemudian, mereka kembali menghampiriku.
"Tunggu di depan aja, Vin", katanya.
Kami bergegas menuju bagian depan Guest House, tepat di pinggir jalan. Sesekali aku memantau keberadaan Grab-Car pesananku lewat aplikasi yang semakin lama semakin dekat.
"Vin, are you ready? The real long distance relationship will begin", batinku.
Aku memandangi wajah Mas Ryan yang berada tepat di sebelahku. Wajah berkulit sawo matang itu, nampak lelah. Terlihat dari sorot matanya yang sedikit sayu.
Mas Ryan sosok laki-laki yang manis, tegas, bertanggung jawab, dan disiplin. Perempuan mana yang enggan untuk mengenalnya? Aku rasa, hampir semua perempuan merasa nyaman ketika berada di dekatnya.
"Aku takut, Mas. Kita jauh. Aku.... takut", gumamku.
"Kenapa?", tanya Mas Ryan mengagetkanku.
"Ngga papa, Mas"
Aku tersenyum. Lebih tepatnya, aku menyembunyikan rasa takutku dibalik senyuman.
***
Semua ketakutanku berawal dari kegagalanku menjalani long distance relationship Malang-Bandung awal kuliah lalu, tahun 2015. Hubungan yang sudah ku jalani selama hampir 4 tahun, kandas begitu saja. Entah karena aku yang terlalu sibuk dengan tugas-tugas kuliahku, atau dia yang tidak bisa mengerti keadaanku.
Dia meninggalkanku, tanpa penjelasan apapun.
Sampai pada akhirnya, ketika aku menyusulnya ke Bandung, aku menemukan 1 fakta yang amat-sangat-menyakitkan. Fakta yang sampai detik ini belum bisa aku terima. Dia... dekat dengan perempuan lain. Teman sekelasnya.
Komunikasi mereka sangat intens. Lebih intens jika dibandingkan dengan komunikasi kami. Dan perlakuannya terhadap perempuan itu, sangat manis. Tak jarang dia mengajak perempuan itu untuk berkunjung ke kosannya. Entahlah, aku tidak ingin mengingatnya lebih dalam. Yang jelas, kejadian itu perlahan membuatku trauma.
***
Grab-Car yang ku pesan sudah tiba di halaman Guest House. Aku menghampiri Pak Sopir untuk menyampaikan bahwa aku akan menggunakan bagasi belakang untuk menaruh barang-barang keluarga Mas Ryan. Pak Sopir mengangguk.
Aku berjalan menuju bagasi mobil ketika Mas Ryan mencoba untuk membuka pintu bagasi, namun gagal.
Aku tersenyum dan mencoba membuka pintu bagasi tersebut, yang ternyata berhasil. Pintunya terbuka.
"Loh, kok aku tadi ngga bisa?", Mas Ryan tak terima. Ekspresinya sangat polos.
Tengsin. Mungkin itu yang dirasakan Mas Ryan.
Lagi-lagi, aku hanya merespon dengan senyuman. Dan segera memasukkan barang-barang milik keluarga Mas Ryan.
Selesainya, aku bergegas untuk membukakan pintu penumpang untuk Bibi dan Teteh. Bukan, bukan maksudku untuk mencari muka dihadapan beliau, namun alangkah baiknya jika kita berbuat sopan kepada yang lebih tua.
"Terima kasih, ya, Bibi, Teteh. Hati-hati di jalan. Maaf kalau selama ini saya merepotkan", kataku berpamitan.
"Engga kok. Kami di sini yang merepotkan Neng Vina. Terima kasih, ya, Neng. Hayuk atuh main ke Bandung", respon Bibi.
"In shaa Allah, Bi", jawabku sebelum menutup pintu penumpang.
"Terima kasih banyak, ya, Vin. Maaf kalau selama ini kami sangat merepotkan", kata Mas Ryan yang segera ku balas dengan gelengan, tanda tidak setuju dengan pernyataan "maaf kalau selama ini kami sangat merepotkan". Karena pada kenyataannya, mereka sama sekali tidak merepotkan.
Aku senang mengenal Bibi dan Teteh. Aku senang mendengar logat sunda dari mereka.
"Hati-hati di jalan, Mas. Vina nitip Bibi dan Teteh, ya"
"Siap, Vin"
Mas Ryan mengulurkan tangan kanannya. Aku mencium punggung tangan kanan itu. Persis seperti yang dilakukan Ibu ketika sedang berpamitan dengan Bapak.
Mas Ryan tersenyum.
Aku membuka pintu penumpang sebelah sopir sebelum Mas Ryan masuk ke dalam mobil. Bibi, Teteh, Mas Ryan, dan Pak Sopir tersenyum kepadaku.
"Kapan-kapan main ke Bandung, ya", ajak Bibi yang tersenyum sembari melambaikan tangannya kepadaku, begitupun Teteh.
Mungkin, perpisahan ini akan menjadi perpisahan yang mengharukan. Seorang Vina, yang setiap kali berpacaran selalu tidak pernah diperkenalkan dengan orang tua si pacar, kali ini tengah dekat dengan keluarga pacarnya yang ke 4 ini. Meskipun bukan orang tua dari sang pacar, tapi setidaknya aku dapat merasakan kehangatan diantara mereka, sosok sebuah keluarga yang selama ini aku idam-idamkan.
"Sampai jumpa tanggal 27 Desember, Vin", ucap Mas Ryan sebelum akhirnya mobil berwarna silver itu meninggalkan halaman Guest House.
And the real long distance relationship has begun.
***
"Sebulan berlalu, kamu apa kabar, Mas? Bibi dan Teteh sehat, kan? Aku rindu", gumamku.
Semakin malam, Malang menjadi semakin dingin. Ku balutkan selimut ke tubuhku untuk menghangatkan. Tak lupa ku matikan mobile data di handphoneku, barangkali malam ini aku bisa bertemu mereka walau dalam mimpi.
"Night, Mas Ryan", ucapku lirih.
"Bu, kenalkan, ini Mas Ryan. Orang yang aku ceritakan kemarin", kataku sedikit takut.
Ibu tersenyum dan menyalami Mas Ryan, begitupun Mas Ryan yang membalas senyuman Ibu.
Selanjutnya, aku menyalami orang-orang yang sedang berada di rumah--Mas Yoga, Mbak Sita, Umi, dan Abah. Begitupun Mas Ryan.
Ibupun mempersilahkan Mas Ryan untuk duduk di kursi tamu. Sedangkan aku langsung menuju dapur untuk menyiapkan teh hangat untuk Mas Ryan.
"Itu pacar kamu, nduk?", tanya Ibu, terdengar halus sekali suaranya.
Aku hanya tersenyum, tanda mengiyakan pertanyaannya.
Aku membawa dua cangkir teh hangat--satu untukku, dan satunya lagi untuk Mas Ryan. Ibu yang sedang menggendong Qilla--anak pertama Mas Yoga mengikutiku dari belakang, dan duduk di sampingku.
"Mas Ryan ini orang mana?", tanya Ibu.
"Bandung, Bu", jawabnya.
"Temannya Vina?"
"Iya, Bu, tapi beda angkatan. Saya angkatan setahun diatas Vina. Kemarin baru wisuda".
Kira-kira itu percakapan yang aku sempat dengar. Sisanya aku tidak terlalu memperhatikan, karena aku sibuk bermain dengan Qilla yang sedang menonton film Upin&Ipin di layar gadgetku.
Ibu juga sempat menanyakan perihal latar belakang Mas Ryan, dan Mas Ryan menjawab sesuai dengan yang aku ketahui dari Bibi. Iya, Bibi sudah menceritakan latar belakang Mas Ryan ketika kami sedang menunggu pesanan Grab Car kami sampai, sepulang dari acara wisuda Mas Ryan.
Ibu dan Mas Ryan terlihat akrab. Sepertinya, Ibu mulai menyukai Mas Ryan.
"Sini, Vin, biar aku aja yang megangin handphone-nya", pinta mas Ryan yang sedang melihatku menemani Qilla sembari memegang handphone.
Mas Ryan sudah menepati janjinya yang akan datang ke rumah untuk ku perkenalkan dengan Ibuku.
***
"Eh, Vin, tiketnya tadi mana?"
Sebelum keluar dari bangunan PO bus tadi, Mas Ryan menitipkan tiket keberangkatannya ke aku.
"Aku ambilkan dulu sebentar", jawabku yang langsung merogoh sling bag berwarna dusty pink milikku.
"Pipinya gemesin banget sih", kata Mas Ryan seraya mencubit pipi kananku.
Antara kaget dan senang, kalimat yang tepat untuk menggambarkan isi hatiku saat itu.
Seorang Mas Ryan, yang terkenal di Kampus, aktif berorganisasi, dan memiliki banyak teman, sekarang menjadi pacarku dan barusan dia mencubit pipiku. Ya Tuhan, ini bukan mimpi kan?
Aku membatin.
Kami menaiki anak tangga menuju lantai 2 setelah aku memberikan tiket keberangkatannya.
"Kamu tunggu di ruang tamu dulu ya, Vin. Aku mau ngasihin tiket ini dulu", katanya yang ku iyakan dan segera duduk di ruang tamu. Kali ini televisinya mati.
Terdengar samar percakapan antara Mas Ryan, Bibi dan Teteh. Tak sampai lima menit, Mas Ryan sudah berada di sebelah kananku.
Jam menunjukkan pukul 10.50 WIB.
Kami membicarakan obrolan ringan. Yah masih seputar kampus--skripsi, penelitian, seminar hasil, kompre, dan yudisium.
"Aku ingin segera lulus, Mas. Targetku Bulan April nanti wisuda. Bisa nggak ya?", aku mengutarakan keinginanku.
"Dicoba dulu saja, Vin. Gini deh, kalau Bulan April nanti kamu sudah yudisium, minimal kompre deh, nanti aku traktir kamu", janjinya.
"Serius ditraktir? Semua yang aku mau?", tanyaku memastikan, dengan mata yang berbinar.
Tampak sekilas keraguan dari mata Mas Ryan, namun sekali lagi, iya menjawab dengan pasti.
"Iya, aku traktir".
Aku tersenyum dan melingkarkan ibu jari dengan jari telunjuk tangan kananku membentuk sebuah lingkaran, tanda persetujuan.
Semoga, aku bisa menyelesaikannya tepat di Bulan April.
***
Dering telfon dari gadget Mas Ryan menghentikan semua percakapan kita.
"Bus-nya sudah sampai di Surabaya, Vin", katanya. Setelah itu, Mas Ryan berlari menuju kamar Bibi dan Teteh untuk menyampaikan kabar yang terlebih dahulu disampaikannya padaku.
Semua barang-barang sudah dipacking Bibi dan Teteh sepulang dari Car Free Day tadi.
Aku berjalan menyusul Mas Ryan di belakangnya.
Masih jam 11.30 WIB.
"Mau check out sekarang, Mas?", tanyaku yang setengah bingung. Keluarga ini jelas memiliki manajemen waktu yang bagus. Disiplin sekali.
"Iya", jawabnya singkat.
"Tolong pesankan Grab-Car ya", sambungnya.
Aku mengangguk.
Setelah memesankan Grab-Car, aku membantu membawakan sebuah koper yang berisi hadiah wisuda milik Mas Ryan. Tidak terlalu berat.
Sementara Bibi dan Teteh masing-masing membawa 1 tas jinjing dan 1 tas travel. Mas Ryan membawa 1 tas punggung dan 1 tas kamera.
Kami menuruni satu persatu anak tangga. Ketika tiba di depan parkiran mobil, Mas Ryan, Bibi dan Teteh menuju ruangan resepsionis, sementara aku tetap berdiri di tempat itu sembari mengecek pesanan Grab-Car ku. Tak lama kemudian, mereka kembali menghampiriku.
"Tunggu di depan aja, Vin", katanya.
Kami bergegas menuju bagian depan Guest House, tepat di pinggir jalan. Sesekali aku memantau keberadaan Grab-Car pesananku lewat aplikasi yang semakin lama semakin dekat.
"Vin, are you ready? The real long distance relationship will begin", batinku.
Aku memandangi wajah Mas Ryan yang berada tepat di sebelahku. Wajah berkulit sawo matang itu, nampak lelah. Terlihat dari sorot matanya yang sedikit sayu.
Mas Ryan sosok laki-laki yang manis, tegas, bertanggung jawab, dan disiplin. Perempuan mana yang enggan untuk mengenalnya? Aku rasa, hampir semua perempuan merasa nyaman ketika berada di dekatnya.
"Aku takut, Mas. Kita jauh. Aku.... takut", gumamku.
"Kenapa?", tanya Mas Ryan mengagetkanku.
"Ngga papa, Mas"
Aku tersenyum. Lebih tepatnya, aku menyembunyikan rasa takutku dibalik senyuman.
***
Semua ketakutanku berawal dari kegagalanku menjalani long distance relationship Malang-Bandung awal kuliah lalu, tahun 2015. Hubungan yang sudah ku jalani selama hampir 4 tahun, kandas begitu saja. Entah karena aku yang terlalu sibuk dengan tugas-tugas kuliahku, atau dia yang tidak bisa mengerti keadaanku.
Dia meninggalkanku, tanpa penjelasan apapun.
Sampai pada akhirnya, ketika aku menyusulnya ke Bandung, aku menemukan 1 fakta yang amat-sangat-menyakitkan. Fakta yang sampai detik ini belum bisa aku terima. Dia... dekat dengan perempuan lain. Teman sekelasnya.
Komunikasi mereka sangat intens. Lebih intens jika dibandingkan dengan komunikasi kami. Dan perlakuannya terhadap perempuan itu, sangat manis. Tak jarang dia mengajak perempuan itu untuk berkunjung ke kosannya. Entahlah, aku tidak ingin mengingatnya lebih dalam. Yang jelas, kejadian itu perlahan membuatku trauma.
***
Grab-Car yang ku pesan sudah tiba di halaman Guest House. Aku menghampiri Pak Sopir untuk menyampaikan bahwa aku akan menggunakan bagasi belakang untuk menaruh barang-barang keluarga Mas Ryan. Pak Sopir mengangguk.
Aku berjalan menuju bagasi mobil ketika Mas Ryan mencoba untuk membuka pintu bagasi, namun gagal.
Aku tersenyum dan mencoba membuka pintu bagasi tersebut, yang ternyata berhasil. Pintunya terbuka.
"Loh, kok aku tadi ngga bisa?", Mas Ryan tak terima. Ekspresinya sangat polos.
Tengsin. Mungkin itu yang dirasakan Mas Ryan.
Lagi-lagi, aku hanya merespon dengan senyuman. Dan segera memasukkan barang-barang milik keluarga Mas Ryan.
Selesainya, aku bergegas untuk membukakan pintu penumpang untuk Bibi dan Teteh. Bukan, bukan maksudku untuk mencari muka dihadapan beliau, namun alangkah baiknya jika kita berbuat sopan kepada yang lebih tua.
"Terima kasih, ya, Bibi, Teteh. Hati-hati di jalan. Maaf kalau selama ini saya merepotkan", kataku berpamitan.
"Engga kok. Kami di sini yang merepotkan Neng Vina. Terima kasih, ya, Neng. Hayuk atuh main ke Bandung", respon Bibi.
"In shaa Allah, Bi", jawabku sebelum menutup pintu penumpang.
"Terima kasih banyak, ya, Vin. Maaf kalau selama ini kami sangat merepotkan", kata Mas Ryan yang segera ku balas dengan gelengan, tanda tidak setuju dengan pernyataan "maaf kalau selama ini kami sangat merepotkan". Karena pada kenyataannya, mereka sama sekali tidak merepotkan.
Aku senang mengenal Bibi dan Teteh. Aku senang mendengar logat sunda dari mereka.
"Hati-hati di jalan, Mas. Vina nitip Bibi dan Teteh, ya"
"Siap, Vin"
Mas Ryan mengulurkan tangan kanannya. Aku mencium punggung tangan kanan itu. Persis seperti yang dilakukan Ibu ketika sedang berpamitan dengan Bapak.
Mas Ryan tersenyum.
Aku membuka pintu penumpang sebelah sopir sebelum Mas Ryan masuk ke dalam mobil. Bibi, Teteh, Mas Ryan, dan Pak Sopir tersenyum kepadaku.
"Kapan-kapan main ke Bandung, ya", ajak Bibi yang tersenyum sembari melambaikan tangannya kepadaku, begitupun Teteh.
Mungkin, perpisahan ini akan menjadi perpisahan yang mengharukan. Seorang Vina, yang setiap kali berpacaran selalu tidak pernah diperkenalkan dengan orang tua si pacar, kali ini tengah dekat dengan keluarga pacarnya yang ke 4 ini. Meskipun bukan orang tua dari sang pacar, tapi setidaknya aku dapat merasakan kehangatan diantara mereka, sosok sebuah keluarga yang selama ini aku idam-idamkan.
"Sampai jumpa tanggal 27 Desember, Vin", ucap Mas Ryan sebelum akhirnya mobil berwarna silver itu meninggalkan halaman Guest House.
And the real long distance relationship has begun.
***
"Sebulan berlalu, kamu apa kabar, Mas? Bibi dan Teteh sehat, kan? Aku rindu", gumamku.
Semakin malam, Malang menjadi semakin dingin. Ku balutkan selimut ke tubuhku untuk menghangatkan. Tak lupa ku matikan mobile data di handphoneku, barangkali malam ini aku bisa bertemu mereka walau dalam mimpi.
"Night, Mas Ryan", ucapku lirih.
Komentar
Posting Komentar