#hbc1903 - Sesaat yang Abadi (1)
Di sudut ruangan itu, aku terdiam sembari menikmati dinginnya malam. Sudah sejak siang tadi, Malang diguyur hujan. Berselimut kerinduan yang tak tahu kapan akan terobati, aku mengingat kembali apa yang sudah terjadi satu bulan yang lalu.
16 Desember 2018.
***
"Vin, bangun, sholat subuh"
Pagi itu, April membangunkanku tepat pukul 04.30 WIB untuk melaksanakan sholat subuh. Sudah dua hari ini aku menginap di tempatnya. Melarikan diri dari kenyataan, berlindung dari harapan yang menyakitkan.
Aku menginap sehari sebelum Mas Ryan--pacarku wisuda. Untungnya aku mempunyai teman sebaik April--teman SMAku yang bersedia menampungku kapanpun. Aku dan April berteman sejak kelas 1 SMA, dan kebetulan sekarang kami berada di perguruan tinggi yang sama.
"Duluan aja, Pril", kataku setengah sadar.
Tubuhku masih lemas, mengingat insiden semalam yang membuat seluruh isi makanan dalam perutku terpaksa dikeluarkan. Aku keracunan seafood.
Sembari menunggu April selesai melaksanakan kewajibannya, aku berselancar di panel instagramku.
Beberapa menit kemudian, sebuah notifikasi WhatsApp muncul di atas layar.
"Aku, bibi dan teteh lagi mau Car Free Day-an, Vin. Kamu mau ikut?"
Iya, notifikasi dari Mas Ryan, pacarku. Rencananya hari ini, Mas Ryan sekeluarga kembali pulang ke Bandung. Sebelum pulang, Mas Ryan menyempatkan untuk mengikuti Car Free Day bersama keluarga.
"Boleh emang?" balasku. Barangkali Mas Ryan atau salah satu anggota keluarganya tidak menghendaki kehadiranku.
"Boleh dong. Kamu sudah siap?", tanyanya.
Belum-sama-sekali-mas, batinku.
"Sebentar, Mas, lima belas menit lagi", jawabku dan bergegas menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Hehe, aku tidak sedang bercanda. Aku memutuskan untuk tidak mandi, hanya sholat subuh. Selesai sholat, aku segera bersiap diri untuk berangkat. Itupun memakan waktu lebih dari lima belas menit. Ah, waktu memang terasa cepat jika kita tergesa-gesa.
"Sudah siap, Vin?"
"Sudah, Mas. Aku otw ya", jawabku dan segera menuju parkiran motor untuk mengeluarkan motorku.
***
Sepeda motor yang aku kendarai memasuki sebuah parkiran Guest House yang dua hari ini aku kunjungi. Guest house yang besar dan memiliki banyak kamar di dalamnya dengan tiga lantai. Parkiran mobil yang luas terpisah dengan parkiran motor. Parkiran mobil yang berada di depan pintu masuk bangunan resepsionis, sedangkan parkiran motor yang berada di depan pintu masuk bangunan menuju kamar.
Baru saja aku melepas helm ketika Mas Ryan sekeluarga berjalan keluar dari pintu keluar bangunan yang berisi kamar tersebut. Mereka bertiga tersenyum kepadaku. Senyuman yang lembut. Senyuman yang menyejukkan hati.
Pagi itu, Mas Ryan memakai sebuah baju organisasi. Aku sangat mengenali baju tersebut, karena aku juga memilikinya, aku juga termasuk anggota dalam organisasi tersebut. Baju berwarna coklat itu dipasangkan dengan celana kain berwarna hitam. Sedangkan Bibi memakai dress berwarna coklat muda yang sepadan dengan jilbab panjangnya, dan teteh memakai dress berwarna putih dengan corak bunga berwarna merah muda yang dipadankan dengan jilbab panjang berwarna dusty pink. Mereka nampak seperti keluarga bahagia.
Ah, andai saja aku memiliki keluarga seperti mereka.
"Langsung, Mas?" tanyaku yang segera dibalas anggukan oleh Mas Ryan.
"Pesankan Grab-Car ya, Vin", pintanya.
***
Pagi itu, Car Free Day Ijen Malang masih terlihat sepi. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul enam tepat.
Tidak biasanya sepi begini, batinku.
Kami berjalan beriringan. Mas Ryan berada di sisi paling kanan, di samping kiri Bibi yang sedang menggantungkan tangan kanannya ke lengan sebelah kiri Mas Ryan. Sementara tangan kiri Bibi menggenggam tangan Teteh--anaknya. Aku? Jangan ditanya.
Awkward. Satu-satunya kata yang menggambarkan keadaan saat itu.
Ini adalah pertama kalinya aku hangout bersama keluarga dari pacarku. Sebelumnya, mana pernah aku diajak hangout bersama keluarga dari pacar-pacarku yang sebelumnya. Diperkenalkan saja tidak.
Kami berjalan menikmati suasana Car Free Day yang semakin lama semakin ramai, tapi tak seramai biasanya. Sembari menikmati dinginnya Malang di pagi hari, aku mempelajari sifat-sifat mereka. Aku mempelajari bagaimana cara Mas Ryan memperlakukan Bibi dan Tetehnya, apa saja yang dilakukan mereka ketika sedang Car Free Day, serta makanan kesukaan mereka. Masih sebatas kulitnya saja memang.
"Ih si Eneng, apa-apa enggak mau. Ini nggak mau, itu nggak mau", kata bibi dengan logat sundanya.
"Nggak pernah jajan ya Neng?", tanya Teteh dengan logat sundanya juga.
"Iya, saya jarang beli jajan di luar", jawabku sembari tersenyum.
"Kalo Bibi sama Teteh mah sukanya beli-beli. Apa-apa dibeli, sampe uang abis", cerita Bibi.
Kami tertawa.
***
Sebelum kembali ke Guest House, kami memutuskan untuk membeli semangkok bubur ayam yang berada diantara kerumunan para penjual dan pembeli. Bibi memintaku untuk memesankan 4 mangkok bubur kepada sang penjual. Aku mengangguk tanda setuju.
Kami makan bersama-sama pagi itu, di tengah kerumunan para pencari uang dan para pembelanja, di tengah sejuknya udara pagi di kota Malang.
"Eh, nggak usah Neng, biar Ryan aja yang bayar", kata Bibi saat beliau melihatku mengeluarkan dompetku yang berwarna dustu pink, sepadan dengan sling bag ku.
"Kan Mas Ryan belum kerja, Bi", jawabku sembaru tersenyum.
"Udah kok. Bulan depan Ryan udah mulai kerja. Udah, nggak usah. Kalo masalah uang mah biar Ryan aja".
Aku mengangguk.
Selesai makan, kami berjalan menuju sebrang Gereja Tua untuk memesan Grab-Car lagi. Masih dengan formasi yang sama, beriringan. Namun kali ini, ada yang berbeda. Teteh menggenggam tangan kananku.
Aku tersenyum.
***
"Hari ini, Neng Vina ada acara apa?", tanya Bibi ketika kami sedang menunggu Grab-Car pesanan kami.
"Enggak ada, Bi. Kosong", jawabku singkat yang disertai anggukan Bibi dan Mas Ryan.
"Mas Ryan sepulang dari sini langsung balik ke Bandung kah?", tanyaku.
"Iya, rencananya jam 12 siang nanti. Tapi ini mau ke PO busnya dulu. Mau mastiin jamnya. Takutnya jamnya berubah lagi kayak kemarin".
"Aku antar ya".
Mas Ryan mengiyakan.
***
Sesampainya di Guest House, Bibi, Teteh, dan Mas Ryan langsung masuk ke kamar. Sementara aku menunggu di ruang tengah, menikmati televisi yang sedang memutar film kartun favoritku. Doraemon.
Tak sampai lima menit, Mas Ryan menghampiriku. Menemaniku menikmati film kartun yang aku sukai.
Tiba-tiba, kepalanya menyandar di pundakku. Hanya tiga detik.
Hening.
"Eh, Vin, aku boleh nggak, bersandar di pundakmu?", tanyanya lucu.
"Boleh, Mas. Bersandar aja. Pundakku empuk kok", jawabku setengah bercanda.
Mas, harusnya aku yang bertanya seperti itu. Kenapa malah sebaliknya?
"Pundakku enggak. Nggak ada dagingnya"
"Mana sih, coba sini aku sandarin", kataku yang langsung meletakkan kepalaku ke pundaknya. Hanya tiga detik juga. "Iya sih, tapi enak kok", candaku setengah serius.
Kamipun tertawa.
***
Kami melajukan motor menuju PO bus yang berada di daerah Pakisaji. Mas Ryan yang menyetir motornya.
Di tengah perjalanan kami,
"Vin, coba pegang perutku deh. Kayaknya aku agak gemukan", kata Mas Ryan yang diikuti gerakan tangan kirinya yang menarik tangan kiriku dan meletakkan ke perutnya.
"Hah? enggak kok. Kurus ini mah namanya", jawabku setengah terkejut, setelah aku menekan-nekan perutnya.
Lalu ku lepaskan lagi tanganku dari perutnya, memindahkannya kembali ke pinggang Mas Ryan.
Setelah itu, hening. Sampai lampu merah pertigaan jalan mengantarkanku kepada sebuah kenyamanan. Tangan kiri Mas Ryan kembali menarik tangan kiriku, dan meletakkannya ke perutnya.
Ih, bilang aja kalo pengen dipeluk. Dasar modus. Batinku.
Kali ini aku paham maksudnya. Akhirnya ku lingkarkan tanganku ke perutnya. Aku memeluknya di atas motor, di tengah perjalanan kami menuju tempat yang akan mengantarkan mereka pulang.
***
"Busnya masih di Sragen, Mas, Mbak", kata Mas-mas bagian administrasi yang sedang bertugas.
"Kira-kira sampai di Malang jam berapa ya, Mas?" tanyaku. Sementara Mas Ryan sedang asik dengan gadgetnya. Sedang membalas pesan penting dari temannnya, mungkin.
"Kemungkinan jam lima sore"
"Wah, lama juga ya, Mas. Sragen itu perbatasan antara Jawa Tengah dengan Jawa Timur, bukan?", tanyaku memastikan.
Masnya mengangguk.
"Gimana, Mas?", tanya Mas Ryan yang baru memasukkan gadgetnya, memastikan ulang apa yang baru ia dengar.
"Bus-nya masih di Sragen, Mas. Nah si Masnya ini belum bisa memastikan jam berapa bus-nya sampai di Malang", ulangku.
"Gini deh Mas, nanti saya kabari Mas-nya lewat WhatsApp kalau busnya sudah di Surabaya. Nomor WhatsApp Mas-nya berapa?"
Mas Ryan-pun memberikan nomor WhatsApp-nya kepada petugas tersebut, sekaligus mencetak tiket keberangkatannya. Setelah itu, kami langsung keluar dari ruangan tersebut menuju ke parkiran.
"Mas Ryan nanti mau aku temenin nunggu bus di Terminal?", tawarku.
Jawab iya, please, jawab iya.
"Nggak usah, Vin, kamu kerjain skripsi kamu aja", jawabnya.
Yah, kecewa.
"Aku lagi malas ngerjain, Mas, aku temenin Mas Ryan aja deh. Ya?", rengekku seperti anak kecil yang menginginkan balon.
"Kamu harus kerjain skripsi kamu, Vina", Mas Ryan mengelus lembut kepalaku yang terbalut hijab berwarna biru dongker.
Aku tersipu.
***
"Vin, mau mampir rumahmu dulu, nggak?", tanya Mas Ryan yang sedang konsen menyetir.
"Terserah Mas Ryan. Nggak mampir juga nggak papa", jawabku, berharap Mas Ryan akan menyetujui keinginanku untuk mengenalkannya kepada Ibuku.
"Lain kali aja ya, aku masih belum siap", katanya.
"Iya Mas, nggak papa kok", kataku yang melingkarkan tanganku ke perutnya. Sedikit kecewa.
Selanjutnya, kami larut dalam keheningan masing-masing.
"Vin,"
"Iya?", tanyaku seraya memiringkan kepalaku yang berada di pundak sebelah kirinya, agar dapat melihat pipinya yang agak berisi.
"Mampir ke rumahmu-nya sebentar aja ya?"
"Boleh. Sudah siap, emang?", aku mencoba memastikan.
"Belum. Aku grogi, Vin. Aku harus bilang apa nanti ke Ibumu? Bilang kalau aku pacarmu?"
"Nggak usah bilang apa-apa, Ibuku sudah tahu kok, Mas", aku tersenyum.
16 Desember 2018.
***
"Vin, bangun, sholat subuh"
Pagi itu, April membangunkanku tepat pukul 04.30 WIB untuk melaksanakan sholat subuh. Sudah dua hari ini aku menginap di tempatnya. Melarikan diri dari kenyataan, berlindung dari harapan yang menyakitkan.
Aku menginap sehari sebelum Mas Ryan--pacarku wisuda. Untungnya aku mempunyai teman sebaik April--teman SMAku yang bersedia menampungku kapanpun. Aku dan April berteman sejak kelas 1 SMA, dan kebetulan sekarang kami berada di perguruan tinggi yang sama.
"Duluan aja, Pril", kataku setengah sadar.
Tubuhku masih lemas, mengingat insiden semalam yang membuat seluruh isi makanan dalam perutku terpaksa dikeluarkan. Aku keracunan seafood.
Sembari menunggu April selesai melaksanakan kewajibannya, aku berselancar di panel instagramku.
Beberapa menit kemudian, sebuah notifikasi WhatsApp muncul di atas layar.
"Aku, bibi dan teteh lagi mau Car Free Day-an, Vin. Kamu mau ikut?"
Iya, notifikasi dari Mas Ryan, pacarku. Rencananya hari ini, Mas Ryan sekeluarga kembali pulang ke Bandung. Sebelum pulang, Mas Ryan menyempatkan untuk mengikuti Car Free Day bersama keluarga.
"Boleh emang?" balasku. Barangkali Mas Ryan atau salah satu anggota keluarganya tidak menghendaki kehadiranku.
"Boleh dong. Kamu sudah siap?", tanyanya.
Belum-sama-sekali-mas, batinku.
"Sebentar, Mas, lima belas menit lagi", jawabku dan bergegas menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Hehe, aku tidak sedang bercanda. Aku memutuskan untuk tidak mandi, hanya sholat subuh. Selesai sholat, aku segera bersiap diri untuk berangkat. Itupun memakan waktu lebih dari lima belas menit. Ah, waktu memang terasa cepat jika kita tergesa-gesa.
"Sudah siap, Vin?"
"Sudah, Mas. Aku otw ya", jawabku dan segera menuju parkiran motor untuk mengeluarkan motorku.
***
Sepeda motor yang aku kendarai memasuki sebuah parkiran Guest House yang dua hari ini aku kunjungi. Guest house yang besar dan memiliki banyak kamar di dalamnya dengan tiga lantai. Parkiran mobil yang luas terpisah dengan parkiran motor. Parkiran mobil yang berada di depan pintu masuk bangunan resepsionis, sedangkan parkiran motor yang berada di depan pintu masuk bangunan menuju kamar.
Baru saja aku melepas helm ketika Mas Ryan sekeluarga berjalan keluar dari pintu keluar bangunan yang berisi kamar tersebut. Mereka bertiga tersenyum kepadaku. Senyuman yang lembut. Senyuman yang menyejukkan hati.
Pagi itu, Mas Ryan memakai sebuah baju organisasi. Aku sangat mengenali baju tersebut, karena aku juga memilikinya, aku juga termasuk anggota dalam organisasi tersebut. Baju berwarna coklat itu dipasangkan dengan celana kain berwarna hitam. Sedangkan Bibi memakai dress berwarna coklat muda yang sepadan dengan jilbab panjangnya, dan teteh memakai dress berwarna putih dengan corak bunga berwarna merah muda yang dipadankan dengan jilbab panjang berwarna dusty pink. Mereka nampak seperti keluarga bahagia.
Ah, andai saja aku memiliki keluarga seperti mereka.
"Langsung, Mas?" tanyaku yang segera dibalas anggukan oleh Mas Ryan.
"Pesankan Grab-Car ya, Vin", pintanya.
***
Pagi itu, Car Free Day Ijen Malang masih terlihat sepi. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul enam tepat.
Tidak biasanya sepi begini, batinku.
Kami berjalan beriringan. Mas Ryan berada di sisi paling kanan, di samping kiri Bibi yang sedang menggantungkan tangan kanannya ke lengan sebelah kiri Mas Ryan. Sementara tangan kiri Bibi menggenggam tangan Teteh--anaknya. Aku? Jangan ditanya.
Awkward. Satu-satunya kata yang menggambarkan keadaan saat itu.
Ini adalah pertama kalinya aku hangout bersama keluarga dari pacarku. Sebelumnya, mana pernah aku diajak hangout bersama keluarga dari pacar-pacarku yang sebelumnya. Diperkenalkan saja tidak.
Kami berjalan menikmati suasana Car Free Day yang semakin lama semakin ramai, tapi tak seramai biasanya. Sembari menikmati dinginnya Malang di pagi hari, aku mempelajari sifat-sifat mereka. Aku mempelajari bagaimana cara Mas Ryan memperlakukan Bibi dan Tetehnya, apa saja yang dilakukan mereka ketika sedang Car Free Day, serta makanan kesukaan mereka. Masih sebatas kulitnya saja memang.
"Ih si Eneng, apa-apa enggak mau. Ini nggak mau, itu nggak mau", kata bibi dengan logat sundanya.
"Nggak pernah jajan ya Neng?", tanya Teteh dengan logat sundanya juga.
"Iya, saya jarang beli jajan di luar", jawabku sembari tersenyum.
"Kalo Bibi sama Teteh mah sukanya beli-beli. Apa-apa dibeli, sampe uang abis", cerita Bibi.
Kami tertawa.
***
Sebelum kembali ke Guest House, kami memutuskan untuk membeli semangkok bubur ayam yang berada diantara kerumunan para penjual dan pembeli. Bibi memintaku untuk memesankan 4 mangkok bubur kepada sang penjual. Aku mengangguk tanda setuju.
Kami makan bersama-sama pagi itu, di tengah kerumunan para pencari uang dan para pembelanja, di tengah sejuknya udara pagi di kota Malang.
"Eh, nggak usah Neng, biar Ryan aja yang bayar", kata Bibi saat beliau melihatku mengeluarkan dompetku yang berwarna dustu pink, sepadan dengan sling bag ku.
"Kan Mas Ryan belum kerja, Bi", jawabku sembaru tersenyum.
"Udah kok. Bulan depan Ryan udah mulai kerja. Udah, nggak usah. Kalo masalah uang mah biar Ryan aja".
Aku mengangguk.
Selesai makan, kami berjalan menuju sebrang Gereja Tua untuk memesan Grab-Car lagi. Masih dengan formasi yang sama, beriringan. Namun kali ini, ada yang berbeda. Teteh menggenggam tangan kananku.
Aku tersenyum.
***
"Hari ini, Neng Vina ada acara apa?", tanya Bibi ketika kami sedang menunggu Grab-Car pesanan kami.
"Enggak ada, Bi. Kosong", jawabku singkat yang disertai anggukan Bibi dan Mas Ryan.
"Mas Ryan sepulang dari sini langsung balik ke Bandung kah?", tanyaku.
"Iya, rencananya jam 12 siang nanti. Tapi ini mau ke PO busnya dulu. Mau mastiin jamnya. Takutnya jamnya berubah lagi kayak kemarin".
"Aku antar ya".
Mas Ryan mengiyakan.
***
Sesampainya di Guest House, Bibi, Teteh, dan Mas Ryan langsung masuk ke kamar. Sementara aku menunggu di ruang tengah, menikmati televisi yang sedang memutar film kartun favoritku. Doraemon.
Tak sampai lima menit, Mas Ryan menghampiriku. Menemaniku menikmati film kartun yang aku sukai.
Tiba-tiba, kepalanya menyandar di pundakku. Hanya tiga detik.
Hening.
"Eh, Vin, aku boleh nggak, bersandar di pundakmu?", tanyanya lucu.
"Boleh, Mas. Bersandar aja. Pundakku empuk kok", jawabku setengah bercanda.
Mas, harusnya aku yang bertanya seperti itu. Kenapa malah sebaliknya?
"Pundakku enggak. Nggak ada dagingnya"
"Mana sih, coba sini aku sandarin", kataku yang langsung meletakkan kepalaku ke pundaknya. Hanya tiga detik juga. "Iya sih, tapi enak kok", candaku setengah serius.
Kamipun tertawa.
***
Kami melajukan motor menuju PO bus yang berada di daerah Pakisaji. Mas Ryan yang menyetir motornya.
Di tengah perjalanan kami,
"Vin, coba pegang perutku deh. Kayaknya aku agak gemukan", kata Mas Ryan yang diikuti gerakan tangan kirinya yang menarik tangan kiriku dan meletakkan ke perutnya.
"Hah? enggak kok. Kurus ini mah namanya", jawabku setengah terkejut, setelah aku menekan-nekan perutnya.
Lalu ku lepaskan lagi tanganku dari perutnya, memindahkannya kembali ke pinggang Mas Ryan.
Setelah itu, hening. Sampai lampu merah pertigaan jalan mengantarkanku kepada sebuah kenyamanan. Tangan kiri Mas Ryan kembali menarik tangan kiriku, dan meletakkannya ke perutnya.
Ih, bilang aja kalo pengen dipeluk. Dasar modus. Batinku.
Kali ini aku paham maksudnya. Akhirnya ku lingkarkan tanganku ke perutnya. Aku memeluknya di atas motor, di tengah perjalanan kami menuju tempat yang akan mengantarkan mereka pulang.
***
"Busnya masih di Sragen, Mas, Mbak", kata Mas-mas bagian administrasi yang sedang bertugas.
"Kira-kira sampai di Malang jam berapa ya, Mas?" tanyaku. Sementara Mas Ryan sedang asik dengan gadgetnya. Sedang membalas pesan penting dari temannnya, mungkin.
"Kemungkinan jam lima sore"
"Wah, lama juga ya, Mas. Sragen itu perbatasan antara Jawa Tengah dengan Jawa Timur, bukan?", tanyaku memastikan.
Masnya mengangguk.
"Gimana, Mas?", tanya Mas Ryan yang baru memasukkan gadgetnya, memastikan ulang apa yang baru ia dengar.
"Bus-nya masih di Sragen, Mas. Nah si Masnya ini belum bisa memastikan jam berapa bus-nya sampai di Malang", ulangku.
"Gini deh Mas, nanti saya kabari Mas-nya lewat WhatsApp kalau busnya sudah di Surabaya. Nomor WhatsApp Mas-nya berapa?"
Mas Ryan-pun memberikan nomor WhatsApp-nya kepada petugas tersebut, sekaligus mencetak tiket keberangkatannya. Setelah itu, kami langsung keluar dari ruangan tersebut menuju ke parkiran.
"Mas Ryan nanti mau aku temenin nunggu bus di Terminal?", tawarku.
Jawab iya, please, jawab iya.
"Nggak usah, Vin, kamu kerjain skripsi kamu aja", jawabnya.
Yah, kecewa.
"Aku lagi malas ngerjain, Mas, aku temenin Mas Ryan aja deh. Ya?", rengekku seperti anak kecil yang menginginkan balon.
"Kamu harus kerjain skripsi kamu, Vina", Mas Ryan mengelus lembut kepalaku yang terbalut hijab berwarna biru dongker.
Aku tersipu.
***
"Vin, mau mampir rumahmu dulu, nggak?", tanya Mas Ryan yang sedang konsen menyetir.
"Terserah Mas Ryan. Nggak mampir juga nggak papa", jawabku, berharap Mas Ryan akan menyetujui keinginanku untuk mengenalkannya kepada Ibuku.
"Lain kali aja ya, aku masih belum siap", katanya.
"Iya Mas, nggak papa kok", kataku yang melingkarkan tanganku ke perutnya. Sedikit kecewa.
Selanjutnya, kami larut dalam keheningan masing-masing.
"Vin,"
"Iya?", tanyaku seraya memiringkan kepalaku yang berada di pundak sebelah kirinya, agar dapat melihat pipinya yang agak berisi.
"Mampir ke rumahmu-nya sebentar aja ya?"
"Boleh. Sudah siap, emang?", aku mencoba memastikan.
"Belum. Aku grogi, Vin. Aku harus bilang apa nanti ke Ibumu? Bilang kalau aku pacarmu?"
"Nggak usah bilang apa-apa, Ibuku sudah tahu kok, Mas", aku tersenyum.
Komentar
Posting Komentar