Teruntuk Lelaki Ku - Chapter 2: Semesta tak Mengizinkan
Aku terbangun di tengah tidurku, mencoba memastikan jarum jam dinding yang berada tepat di depanku. “Duh, itu jam berapa sih? Jam dua atau tiga ya?” gumamku. Rabun mata ini sangat membatasi penglihatanku. Oh, masih jam 3 pagi rupanya.
“Cek hp
dulu ah, siapa tau sudah ada kabar”.
Akupun
menekan tombol layar kunci yang ada disebelah kanan handphoneku, tidak sampai 1
detik layar tersebut sudah menyala dan menyuguhkan beberapa notifikasi yang
masuk. Dari sekian banyaknya notifikasi dan pesan yang masuk, tidak ada satupun
yang menandakan keberadaan dirimu. Ya, sampai jam 3 pagi-pun kau masih tidak
ada kabar.
“Satu
setengah jam lagi kamu berangkat ke Stasiun Gubeng Surabaya, lalu dilanjutkan
dengan keberangkatan ke Stasiun Kiaracondong Bandung. Kok masih belum ada
kabar?”
Lagi-lagi,
akal sehatku mencoba untuk berargumen dengan egoku.
1. "Mungkin dia masih dalam perjalanan ke Malang."
Aku kira,
seorang pendaki pasti memiliki manajemen waktu yang baik. Sangat tidak
memungkinkan apabila dia masih dalam perjalanan ke Malang, sedangkan satu
setengah jam lagi dia memiliki jadwal keberangkatan ke Surabaya menggunakan
kereta api.
2. "Mungkin handphone-nya dalam keadaan tidak ada
sinyal."
Okelah, kalau
alasan ini masih bisa diterima. Mengingat selama ini hanya Telk*msel saja yang
sinyalnya masih oke walaupun di daerah pelosok ataupun pegunungan.
3. "Mungkin handphone-nya dalam keadaan lowbatt."
Untuk
alasan yang ini, harusnya masih bisa diatasi dengan membawa charger atau
powerbank. Kalau tidak punya powerbank, saya kira disana terdapat beberapa pos,
dan masing-masing pos menyediakan aliran listrik. Bukankah begitu? Kalau tidak
membawa charger, saya kira teman-temannya yang lain pasti membawa charger dan
mau meminjamkan chargernya sebentar.
4. "Mungkin dia dalam kondisi kecapekan, makanya
dia tidak bisa mengabarimu hingga detik ini."
Ya Allah,
tolong jaga dia. Berikanlah dia kekuatan, angkatlah semua penyakit yang sedang dia
rasakan, sehatkanlah dia. Aku sangat mencemaskannya yaAllah.
5. Lalu
akhirnya, aku menyerah untuk berargumen. “Mungkin dia akan mengabariku ketika
dia sudah tiba di Stasiun Surabaya Gubeng”, kataku.
Jam
menunjukkan pukul 04.30 WIB, namun tetap saja ia tidak memberiku kabar. “Sepertinya
kereta api yang ia tumpangi sudah bergerak menuju Surabaya, dan mungkin ia
sedang meng-charge handphone-nya di dalam gerbong”, batinku.
Akupun
segera menuju kamar mandi dan bersiap-siap berangkat ke Stasiun Surabaya Gubeng,
tak lupa sholat subuh terlebih dahulu dan meminta kepada semesta untuk
mempertemukanku dengannya sebelum kami benar-benar menjalankan hubungan LDR
yang panjang dan nyata.
Jam sudah
menunjukkan pukul 06.00 WIB, akupun sudah siap untuk berangat ke Stasiun
Surabaya Gubeng. Namun, sampai detik itu, pesan darinya belum juga ku dapat.
“Ayah, aku
berangkat. Sarapannya nanti aja kalau aku sudah pulang.”
“Sudah
mateng, lho.”
“Iya, yah,
nanti aja.”
“Dibuatkan teh,
ya?”
“Nggak
usah, yah, sudah jam segini. Aku berangkat ya, yah. Assalammualaikum.”
“Waalaikumsalam”
Di tengah perjalanan memasuki Kota
Surabaya, aku berpapasan dengan kereta api yang ia tumpangi menuju Stasiun
Surabaya Gubeng. Kereta api Tumapel. “Mas Alan mana ya? Apa dia bisa melihatku
disini?” gumamku. Ah, aku tak sabar ingin segera bertemu!
Tak lama
kemudian, motorku memasuki halaman parker Stasiun Surabaya Gubeng. Baru. Entah,
aku tidak tahu mengapa motorku berhenti di Stasiun Surabaya Gubeng Baru, bukan
yang lama. Dan naluriku mengatakan bahwa dia sedang tidak ada disini. Dia
berada di Stasiun Surabaya Gubeng Lama, karena seluruh kereta api lokal
menurunkan penumpangnya di Stasiun Surabaya Gubeng Lama.
Ketika
sedang memarkirkan motorku, samar terlihat sesosok laki-laki mirip “dia”
berjalan dari gerbang arrived menuju
keluar stasiun. Laki-laki itu berpostur tubuh agak tinggi, kurus, berjalan agak
bungkuk dengan langkahnya yang panjang. Laki-laki itu memakai jaket berwarna
hitam, topi berwarna cream dan membawa tas carrier yang sayangnya aku
lupa warnanya. Laki-laki itu berjalan bergerombol lebih dari 6 orang yang
sama-sama membawa tas carrier, 2 orang diantaranya adalah perempuan
berkerudung. Dan laki-laki itu sedang berjalan sejajar dengan salah satu dari
perempuan tersebut sembari bercakap-cakap. Gerak-gerik bicaranya sangat mirip dengan
dia.
Aku mencoba
membuntuti rombongan laki-laki itu. Tapi ketika sampai di depan gerbang departure, aku langsung membelokkan
tubuhku dan mencari dia di ruang tunggu depan gerbang boarding. Mataku memilah
satu-satu dari ratusan manusia yang memadati Stasiun Surabaya Gubeng pagi itu.
Tak jauh dari tempatku berdiri—tepatnya di Kamar Mandi Umum, juga ada
segerombol laki-laki yang membawa tas carrier. Aku memperhatikannya satu
persatu, tapi tetap saja tak kutemukan dia.
“Mungkin
dia lagi mandi di Kamar Mandi Umum itu”, pikirku positif.
Akhirnya
aku membalikkan badanku, dan berjalan menuju luar Stasiun untuk menemukan sosok
laki-laki yang mirip dengan dia tadi. “Barangkali mereka sedang mencari sarapan”,
batinku.
Tepat di
depan gerbang keluar stasiun, aku berdiri dan mencari laki-laki itu. Di
seberangku berdiri, terdapat beberapa pedagang kaki lima yang menjual makanan
yang berbeda-beda. Aku tidak terlalu memperhatikan makanan apa yang mereka
jual, karena aku terlalu fokus untuk mencari laki-laki itu.
“Ah, itu
dia.”
Aku segera
menyebrang untuk dapat melihatnya lebih dekat, apakah laki-laki bertopi cream
itu adalah orang yang aku cari, orang yang ingin aku temui sebelum jarak dan
waktu memisahkan. Laki-laki bertopi cream itu tepat berada di depanku,
menghadap ke arahku, dengan posisi kepala menunduk. Sejenak aku mulai ragu,
rasanya orang yang aku cari tidak setinggi itu postur tubuhnya, apakah aku
salah orang?
Jarakku
dengan dia kini hanya 50 meter. Tatapanku mulai menajam, menerka-nerka.
Sepersekian detik kemudian, dia menyadari sesuatu berjalan mendekatinya.
Didongakkan kepalanya. Dan benar saja, dia bukan orang yang aku cari. Sejenak
dia menatapku dengan pandangan sinis. Sebelum aku menanggung malu yang
berlebih, aku segera membelokkan langkahku, menjauh darinya.
Aku kembali
ke ruang tunggu depan meja boarding. Jam menunjukkan pukul 07.30 WIB, namun tak
kunjung mendapat kabar darinya. Empat puluh menit lagi kereta api Pasundan
tujuan Kiaracondong Bandung berangkat, namun kau tak kunjung terlihat. Aku
memilih untuk menunggu tepat di depan meja boarding, menyandar di tembok, agar
tetap bisa melihatmu ketika suatu nanti kau berjalan menuju meja boarding.
Sembari
menunggu, aku memainkan aplikasi Instagram dari handphone ku. Salah satu
temanku yang juga ikut dalam rombonganmu mendaki kemarin update instastory. Aku
yang tak kunjung mendapat kabarmu segera memberanikan diri untuk mengirimkan
Direct Message padanya.
“Sudah di
Malang, Lin?”
Lima belas
menit kemudian, “Sudah”. Balasnya singkat.
“Oke, semua
rombongannya sudah berada di Malang. Sepertinya, dia dan teman-temannya yang
berasal dari Bandung balik hari ini, sesuai jadwal keberangkatan. Tapi… aku
tidak melihatmu dari tadi. Kamu dimana, Mas?”
Dan akal
sehatku pun mulai berargumentasi.
1. Mungkin dia kecapekan, akhirnya dia memutuskan
untuk menunda kepulangannya ke Bandung.
2. Mungkin dia ketiduran, akhirnya dia ketinggalan
kereta.
3. Jadwal keberangkatannya salah kali, bukan
kereta api yang ini.
4. Eh, tunggu, jangan-jangan… dia check in di
Stasiun Gubeng Lama? Tapi apa bisa? Mengingat kereta api Pasundan bukan kereta
api lokal. Sedangkan Stasiun Gubeng Lama hanya melayani kereta api lokal saja.
Aku tetap
menunggunya. Hingga saat kereta api Pasundan itu diberangkatkan pun, dia masih
belum terlihat. Aku berusaha mematahkan argument terakhirku dengan bertanya ke
Mas Customer Service yang sedang berdiri di depan komputer pencetakan tiket,
“Mas,
permisi, mau nanya, apa bisa check in boarding kereta api yang non-lokal di
Stasiun Gubeng Lama?”, tanyaku yang agak belepotan. Karena jujur, saking
bingungnya.
“Maksudnya
gimana, Mba? Kereta apa itu?”, Tanya Mas Customer Service berkulit putih,
berwajah baby face, dan berpostur tinggi itu.
“Gini Mas,
kalau misalkan mau check in tiket kereta api Pasundan di Stasiun Gubeng Lama
apa bisa ya? Kan Pasundan bukan kereta api lokal.” Jelasku.
“Bisa Mba,
silahkan segera melakukan check in. Eh, keretanya sudah berangkat.” Jawab Mas
Customer Service berbaju hijau tosca itu sambal menunjuk kereta api Pasundan
yang sudah berangkat beberapa menit yang lalu. (lah, Masnya malah ngelawak. Wkwk)
“Iya sudah
berangkat, Mas. Saya cuma nanya aja kok. Soalnya saya dari tadi nunggu teman
saya kok nggak dating-dateng gitu. Ya sudah, Mas. Terima kasih, ya.” Ucapku pamit.
“Iya
silahkan, Mba.”
Aku
melangkahkan kaki ku dengan lemas. Sesekali menyalahkan diri sendiri yang lebih
memilih untuk menunggu di Stasiun Gubeng Baru, bukan Stasiun Gubeng Lama.
“Lin, Mas
Alan sudah balik ke Bandung?”
Satu jam
kemudian,
“Sudah”,
jawabnya.
Kadang, semesta tak mengizinkan sebuah perpisahan yang diawali dengan berpamitan. Agar engkau tak menjatuhkan air matamu lagi. Sudah cukup kala itu air matamu berlinang.
Aku pulang
ke rumah dengan perasaan yang kacau.
Sidoarjo, 31 Desember 2018
14:34
Masih tanpa kabarmu.
Sidoarjo, 31 Desember 2018
14:34
Masih tanpa kabarmu.
Komentar
Posting Komentar