#hbc1905 - Senja dan Fajar

Di sudut pantai yang cerah itu, dua makhluk insan sedang duduk bersantai sembari menikmati ombak yang sesekali menyapu kaki mereka.

"Kamu kenapa bawa aku ke sini?", tanya Aurel, seorang perempuan berumur 17 tahun, berambut panjang, berperawakan pendek namun berisi, dan berkulit putih.

"Pertama, dari pada kita gabut di acara class meeting sekolah, mendingan kita cabut aja dong. Kedua, aku mau ngenalin ke kamu, bahwa ada pantai di kota kelahiran aku. Ketiga, selama 2 tahun kita pacaran kan aku nggak pernah bawa kamu ke luar kota gini", jawab Farel dengan senyuman nakalnya.

Farel. Laki-laki berumur 17 tahun, tinggi 175 cm, badan berisi, dan berkulit sawo matang ini telah melewati masa-masa suramnya selama 2 tahun dengan Aurel, gadis yang ia temui di sekolah.

"Semoga kamu nggak menyesal karena sudah jauh-jauh ke sini, ya", lanjutnya.

"So far, nggak ada pikiran untuk menyesal sih. Yaa walaupun banyak sampah berserakan di sini", Aurel melempar pandangannya ke sekitar pantai, dan menemukan banyak serakan sampah yang entah sudah berapa lama bertengger di sana.

"Inilah yang sangat disayangkan. Seharusnya pantai ini bisa menjadi omset pendapatan kota Gresik. Walau tempatnya yang sangat jauh dari pusat kota."

Aurel mengangguk setuju.

                                                                                          (source: tempatwisataindonesia.id)

Pantai Delegan namanya. Berlokasi di Desa Delegan, Kecamatan Panceng, Kabupaten Gresik, Propinsi Jawa Timur. Jaraknya sekitaran 40 km dari pusat Kota Gresik. Ini pertama kalinya Farel membawa Aurel untuk berlibur dadakan di pantai kota kelahirannya. Farel tahu, bahwa Aurel sangat menyukai pantai. Bisik pasir, deburan ombak, langit biru, dan juga..... senja.


***
"Eh, laper nggak? Mau bakso? Di sini ada warung bakso yang enaaak banget.", tawar Farel antusias.

"You don't say?", Aurel nampak tidak yakin dengan pernyataan kalimat terakhir yang diucapkan Farel.

"Warungnya bersih kok. Nggak usah khawatir!"

"Well, let's see", jawabnya dan berjalan mengikuti Farel.


***
Warung itu berada di dalam kawasan Pantai Delegan. Warung yang tidak terlalu besar dan lebar itu sepertinya menerapkan kebersihan dan kerapihan, hal itu dapat dilihat dari tidak adanya sampah yang berserakan baik di dalam maupun di luar warung tersebut.

Di sebelah warung bakso tersebut, terdapat  2 warung yang berada di sisi kanan dan sisi kiri. Di sisi kanan, terdapat warung yang menjual beberapa macam ikan bakar. Sedangkan di sisi kiri, terdapat warung yang menjual makanan seafood.

"Aku pesen 1 porsi bakso campur dan segelas es degan", Aurel mengedipkan mata kanannya ke Farel, pertanda bahwa kali ini Farel yang harus memesan makanan ke sang penjual.

"Siap, nyonya", responnya seraya bangkit dan berjalan ke arah kasir.


***
"Rel, kira-kira kita pulang jam berapa?", tanya Aurel yang masih mengunyah suapan terakhirnya.

"Aku nggak ada acara apa-apa sih sampe ntar malem. Kalo kamu mau pulang menjelang malem juga nggak papa", jawab Farel yang sedang menyeruput es degannya.

Aurel tersenyum, matanya berbinar seakan-akan sedang memancarkan sinar yang begitu menyejukkan.

"Kamu pasti pengen ngelihat senja kan?", tebakan Farel sudah pasti benar. Ia sangat mengerti bahwa perempuan yang sedang berada di depannya adalah penyuka senja.

Aurel mengangguk, masih dengan senyuman dan matanya yang berbinar.

Farel melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, memastikan berapa lama waktu yang mereka punya untuk dapat menikmati hari ini.

"Bentar lagi senjanya muncul kok, El".

"Ke sana, yuk! Aku pengen foto-foto sampai senjanya muncul", rengek Aurel dengan bibir manyun.

"Iya, El. Tapi, aku bayar ini dulu ya", jawab Farel yang langsung berdiri dan mengacak-acak rambut Aurel sebelum akhirnya berjalan menuju meja kasir.


***
                                                         (source: Surya - Tribunnews.com)

"Rel, senjanya mau dateng!", seru Aurel.

"Kamera siap, nyonya!"

"Yang bagus, Rel! Kalo perlu, jepret yang banyak!"

"Iya, dasar bawel!"

Farel mengabadikan beberapa momen Aurel dengan senja-nya. Aurel nampak sangat bahagia sore itu.

Aurel, si penyuka senja sekaligus perempuan yang ia sayangi sejak mereka dipertemukan dalam satu organisasi sekolah.


***
Senja kini berganti malam. Aurel masih sibuk meng-swipe galeri di handphonenya, melihat-lihat hasil jepretan dari tangan Farel.

"Kamu memang fotografer handal, Rel! Handphone jadul gini hasil fotonya bisa setara kamera DSLR!"

Farel hanya tertawa singkat.

"Oh ya, El, aku boleh nanya?"

"Lah, nanya mah nanya aja, nggak usah pake izin kali"

Farel nyengir.

"Cita-cita kamu sebenernya apa sih, El?"

"Cita-citaku sederhana kok".

"Apa coba?"

"Pengen jadi senja".

Farel mengernyitkan dahinya, mencoba memahami jawaban dari Aurel.

"Katanya sederhana, kok malah pengen jadi senja sih, El. Manusia nggak bakal bisa berubah jadi senja tau".

"Jadi senja itu sederhana kok".

Farel mengarahkan pandangannya menuju Aurel, tangannya masih menggenggam setir mobilnya.

"Kenapa kamu pengen jadi senja?", telinga Farel siap mendengar jawaban Aurel.

"Karena senja itu disukai, dicintai, dan dinanti banyak orang. Kehadirannya akan selalu memberi kesan tersendiri bagi penikmatnya".

"Senja kan nggak datang setiap hari, El. Dan sekalinya datang, cuma bisa dinikmati sesaat".

"Ih, kata siapa? Setiap hari ada senja tauk! Tapi, nggak semua senja berwarna merah keemasan. Dan nggak semua senja yang berwarna merah keemasan itu sama".

Aurel menyandarkan kepalanya ke pundak kiri Farel.

"Senja memang cuma bisa dinikmati sebentar. Maka dari itu, aku pengen jadi senja. Setidaknya para penyuka senja tahu bagaimana cara menikmati, menghargai, dan mensyukuri kehadiran senja di bumi", Aurel tersenyum.

Tangan kiri Farel membelai rambut hitam Aurel yang terurai, sementara tangannya masih menggenggam setir mobilnya. Pandangannya fokus ke jalanan yang mulai memadat.

Farel menepikan mobilnya.

Aurel mengangkat kepalanya, dan mengernyitkan dahi. Bingung, kenapa Farel tiba-tiba menghentikan laju mobilnya.

"Tapi aku nggak mau kamu jadi senja, yang terasa indah namun hanya sesaat, El", Farel menatap mata Aurel tajam.

"Rel, aku nggak tahu apa yang akan terjadi pada kita selanjutnya. Bisa jadi kita masih akan terus bersama. Besok, lusa, bulan depan, tahun depan, selamanya. Atau, Tuhan malah memilih memisahkan kita".

Farel terdiam.

"Senja nggak pernah membenci matahari yang datang sebelumnya, menyinari dunia dalam jangka waktu yang lama. Senja juga nggak pernah membenci malam, yang akan menggantikan ia dalam jangka waktu yang lebih lama".

Hening.

Aurel menggenggam tangan kiri Farel.

"Semua ada porsinya masing-masing, Rel. Aku nggak bisa menjanjikanmu untuk terus bersama, karena aku nggak tahu takdir kita nanti bagaimana. Aku hanya bisa berusaha untuk terus membersamaimu, memperjuangkan impian kita".

Farel tersenyum.


***
Di malam yang dingin, Farel masih membelah jalanan kota Surabaya yang masih basah. Sebagian jalanan di kota Surabaya tergenang air akibat hujan deras yang mengguyur selama satu jam.

Aurel tertidur di sampingnya. Wajahnya nampak lelah setelah menikmati senja.

Hari ini, Ia mendapatkan pelajaran mengenai senja. Bahwa kita tidak bisa mendahului ketetapan Tuhan. Matahari, senja, dan malam, tidak pernah saling membenci, tidak pernah saling menyalahkan. Mereka berjalan sesuai dengan porsinya.

Kini Ia pun mengerti, bahwa sesuatu yang indah hanya bisa dinikmati sesaat. Ia hanya perlu men-syukuri segala yang telah terjadi dan menjaga apa yang Ia miliki saat ini.

Aurel terbangun ketika mobil yang dilajukan Farel berhenti di depan rumah dengan pagar berwarna coklat--rumah Aurel.

"Makasih ya, Rel", ucap Aurel dengan suara agak serak.

Farel mengangguk sembari tersenyum.

"El,"

Tangan Farel menahan lengan Aurel ketika Aurel hendak keluar dari mobilnya.

"Iya, Rel?"

                                                                                        (source: pixabay.com)

"Aku ingin menjadi fajar", jawabnya.

Aurel mengernyitkan dahi, pertanda tak mengerti dengan ucapan Farel.

"Ya sebenarnya aku juga ingin menjadi senja, sama sepertimu. Tapi sepertinya aku lebih cocok menjadi fajar deh, yang hadir menjelang malam pergi, dan nantinya akan digantikan oleh matahari. Fajar juga nggak membenci malam dan matahari. Yaa walaupun fajar tak seindah senja, tapi maknanya tetap sama--hanya bisa dinikmati sesaat", jelas Farel.

"Fajar juga indah kok, kalo dinikmati di tempat yang benar. Pantai misal, atau gunung", Aurel mengangkat pundaknya.

Farel menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Rel, fajar ataupun senja sama-sama akan terasa indah kalo dinikmatinya berdua sama kamu", Aurel menekan hidung mancung milik laki-laki itu dengan jari telunjuknya.

Farel mencubit pipi Aurel, dan mereka tertawa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#hbc1904 - Euforia Rasa

#hbc1903 - Sesaat yang Abadi (1)

Sayang tapi Nggak Maksa, Gimana tuh Caranya?